Siapa yang
tak kenal Barbie? Boneka plastik manusia remaja yang lahir dengan wajah cantik
badan singset. Kalau Anda terlalu gengsi pergi ke toko mainan untuk melihat
langsung, minta saja fotonya di Mbah
Google. Kalau Anda tergolong orang gaptek, tak kenal internet, Anda kini
bisa menikmati Barbie yang bisa bergerak di layar kaca. Tayang mulai hari
Senin-Jumat jam 09.30 WIB di RCTI! Kalau tidak punya tivi? Ah, sudahlah..
Berdoa saja suatu hari Anda bisa ketemu saya, Barbie versi manusia. Hahaha.
Pada tahun
1959, Ruth Handler terinspirasi dari anak perempuannya yang bermain boneka
kertas berbentuk manusia. Barbara, nama gadis itu, memainkan boneka tersebut
layaknya orang dewasa. Ruth, yang kala itu sudah mendirikan perusahaan mainan
Mattel, akhirnya merilis boneka mainan untuk anak berusia diatas lima tahun.
Maka pada 9 Maret tahun itu lahirlah Barbara Millicent Roberts, yang akrab
dipanggil Barbie.
Barbie
menjadi boneka fenomenal. Meski menuai banyak kontroversi, penjualannya tak
pernah kurang dari 1 juta unit perbulan sejak kemunculannya hingga hari ini.
Berdasarkan survey yang dilakukan Mattel hingga tahun 2010, sedikitnya ada
100.000 kolektor Barbie di seluruh dunia. Rata-rata adalah wanita berusia 40
tahun. 40% dari mereka mampu menghabiskan 1000 dolar per tahun hanya untuk
membeli pernak-pernik boneka itu.
Namun
dibalik kisah suksesnya, Barbie mendapat banyak kecaman. Barbie dinilai terlalu
sempurna. Jika diukur dengan skala normal, tinggi badannya 161 cm dengan berat
49 kg. Punya payudara besar dan bokong yang penuh. Ia disalah-salahkan sebagai
penyebab banyak wanita menderita Anorexia untuk mendapatkan tubuh sesempurna
Barbie. Atau membedah tubuhnya dengan ratusan operasi plastik seperti yang
dilakukan Valeria Lukyanova demi menjadi manusia Barbie. Apalah dosa Barbie? Ia
bahkan tak pernah minta diciptakan.
***
Saya
sebenarnya juga tidak suka pada boneka Barbie. Bukan karena saya iri karena tubuh saya
tidak sekurus dia. Dia mah apa?
Cuma plastik! Sedari kecil saya takut pada boneka yang berbentuk manusia. Apalagi
yang berwajah anak-anak. Sampai hari ini pun saya masih suka bergidik saat
melihat boneka Susan yang matanya bisa membuka dan menutup itu.
Saya pernah
punya satu boneka Barbie saat masih kecil. Kala itu saya minta dibelikan karena
iri pada kawan-kawan saya yang suka datang ke rumah membawa Barbie. Saya beri
nama Desi Ratnasari, karena saat itu dia artis favorit saya.
Tidak
seperti kawan-kawan saya yang memainkan Barbie layaknya bermain drama, saya
lebih suka bereksperimen dengan boneka itu. Saya minta nenek menjahitkan baju
aneh-aneh untuk dipakai Desi. Ketika sudah jadi, saya gunting sana-sini hingga
jadi baju yang seksi. Semakin terlihat auratnya, semakin senang saya. Tak hanya
itu, saya juga suka memotong rambut Desi dengan berbagai model gaya rambut
hingga akhirnya nyaris gundul. Waktu itu saya pikir rambutnya bisa tumbuh
seperti milik saya.
***
Tak lama,
film Barbie muncul di televisi. Ketika itu saya sudah lama meninggalkan Desi si
Barbie Binal. Barbie di televisi tampil dengan busana yang sopan. Rambutnya
pirang dan tertata. Tidak acak-acakan dan nyaris gundul seperti milik Desi.
Sejak
kelahirannya hingga detik ini, Barbie sudah membintangi 23 judul film dengan
tema yang rata-rata diambil dari negeri dongeng. Memang, pada mulanya Barbie
diciptakan sebagai mainan anak perempuan. Hingga akhirnya sebagian masyarakat
ikut men-cap film Barbie hanya layak ditonton anak perempuan.
Ah, baiknya
kita lupakan sajalah soal penonton film Barbie yang bias gender itu. Mari kita ulas sedikit saja tentang isinya. Menurut
Basith, kawan saya, film Barbie dikemas dengan cerita dan warna yang menarik
untuk anak kecil. Warnanya cerah, ceritanya asyik. Namun sayang, unsur
edukasinya tidak terlalu ada.
Bagi saya,
film Barbie adalah sumber inspirasi. Walaupun penuh dengan adegan tak masuk
akal, film-film Barbie konsisten menyajikan cerita petualangan dengan tak lupa
selalu menyertakan moral value. Nilai-nilai yang selalu ada
disitu antara lain tentang rasa ingin tahu, sebuah keberanian, percaya diri,
dan menolong sesama. Dan yang paling penting, tak ada adegan dewasa seperti
cium-ciuman yang selalu ada di serial drama princess
ala Disney.
Lihat saja
si Barbie Rapunzel, ia tak mungkin bisa bebas dari kastil mengerikan itu jika
tak penasaran dan takut terhadap lorong bawah tanah di dapur kastilnya. Odette
pun tak akan dikutuk menjadi angsa andaikan ia tak mengikuti seekor Unicorn ke
dalam hutan. Lalu karena apalah ia berakhir menyelamatkan seluruh hutan
terhadap kutukan jahat Rothbar jika bukan kemauannya menolong sesama? Lihat
juga bagaimana Krystin si ballerina yang tak pernah mau mengikuti koreografi
dari pelatihnya namun berhasil memikat banyak orang dengan tari hasil
ciptaannya sendiri.
Berbeda
dengan boneka-boneka lain, Barbie adalah sebuah karakter yang kuat dan
konsisten. Meski bonekanya kini sudah tampil tak senonoh, setidaknya Barbie
memiliki nilai lebih untuk tidak hanya menjadi sekadar boneka melalui
film-filmnya. Ia berhasil mempromosikan diri sebagai putri sejati.
Barangkali
hal-hal itu bukanlah sebuah edukasi yang kasat dan konkrit bagi sebagian orang.
Namun rasanya tidaklah berlebihan jika saya menanamkan nilai-nilai itu ke dalam
diri saya sendiri alih-alih megoperasi tubuh saya agar serupa Barbie.
0 comments:
Post a Comment