Subscribe:

Thursday, 2 July 2015

Barbie : Bukan Sekadar Boneka



Siapa yang tak kenal Barbie? Boneka plastik manusia remaja yang lahir dengan wajah cantik badan singset. Kalau Anda terlalu gengsi pergi ke toko mainan untuk melihat langsung, minta saja fotonya di Mbah Google. Kalau Anda tergolong orang gaptek, tak kenal internet, Anda kini bisa menikmati Barbie yang bisa bergerak di layar kaca. Tayang mulai hari Senin-Jumat jam 09.30 WIB di RCTI! Kalau tidak punya tivi? Ah, sudahlah.. Berdoa saja suatu hari Anda bisa ketemu saya, Barbie versi manusia. Hahaha.

Pada tahun 1959, Ruth Handler terinspirasi dari anak perempuannya yang bermain boneka kertas berbentuk manusia. Barbara, nama gadis itu, memainkan boneka tersebut layaknya orang dewasa. Ruth, yang kala itu sudah mendirikan perusahaan mainan Mattel, akhirnya merilis boneka mainan untuk anak berusia diatas lima tahun. Maka pada 9 Maret tahun itu lahirlah Barbara Millicent Roberts, yang akrab dipanggil Barbie.

Barbie menjadi boneka fenomenal. Meski menuai banyak kontroversi, penjualannya tak pernah kurang dari 1 juta unit perbulan sejak kemunculannya hingga hari ini. Berdasarkan survey yang dilakukan Mattel hingga tahun 2010, sedikitnya ada 100.000 kolektor Barbie di seluruh dunia. Rata-rata adalah wanita berusia 40 tahun. 40% dari mereka mampu menghabiskan 1000 dolar per tahun hanya untuk membeli pernak-pernik boneka itu.

Namun dibalik kisah suksesnya, Barbie mendapat banyak kecaman. Barbie dinilai terlalu sempurna. Jika diukur dengan skala normal, tinggi badannya 161 cm dengan berat 49 kg. Punya payudara besar dan bokong yang penuh. Ia disalah-salahkan sebagai penyebab banyak wanita menderita Anorexia untuk mendapatkan tubuh sesempurna Barbie. Atau membedah tubuhnya dengan ratusan operasi plastik seperti yang dilakukan Valeria Lukyanova demi menjadi manusia Barbie. Apalah dosa Barbie? Ia bahkan tak pernah minta diciptakan.

***

Saya sebenarnya juga tidak suka pada boneka Barbie. Bukan karena saya iri karena tubuh saya tidak sekurus dia. Dia mah apa? Cuma plastik! Sedari kecil saya takut pada boneka yang berbentuk manusia. Apalagi yang berwajah anak-anak. Sampai hari ini pun saya masih suka bergidik saat melihat boneka Susan yang matanya bisa membuka dan menutup itu.

Saya pernah punya satu boneka Barbie saat masih kecil. Kala itu saya minta dibelikan karena iri pada kawan-kawan saya yang suka datang ke rumah membawa Barbie. Saya beri nama Desi Ratnasari, karena saat itu dia artis favorit saya.

Tidak seperti kawan-kawan saya yang memainkan Barbie layaknya bermain drama, saya lebih suka bereksperimen dengan boneka itu. Saya minta nenek menjahitkan baju aneh-aneh untuk dipakai Desi. Ketika sudah jadi, saya gunting sana-sini hingga jadi baju yang seksi. Semakin terlihat auratnya, semakin senang saya. Tak hanya itu, saya juga suka memotong rambut Desi dengan berbagai model gaya rambut hingga akhirnya nyaris gundul. Waktu itu saya pikir rambutnya bisa tumbuh seperti milik saya.

***

Tak lama, film Barbie muncul di televisi. Ketika itu saya sudah lama meninggalkan Desi si Barbie Binal. Barbie di televisi tampil dengan busana yang sopan. Rambutnya pirang dan tertata. Tidak acak-acakan dan nyaris gundul seperti milik Desi.

Sejak kelahirannya hingga detik ini, Barbie sudah membintangi 23 judul film dengan tema yang rata-rata diambil dari negeri dongeng. Memang, pada mulanya Barbie diciptakan sebagai mainan anak perempuan. Hingga akhirnya sebagian masyarakat ikut men-cap film Barbie hanya layak ditonton anak perempuan.

Ah, baiknya kita lupakan sajalah soal penonton film Barbie yang bias gender itu. Mari kita ulas sedikit saja tentang isinya. Menurut Basith, kawan saya, film Barbie dikemas dengan cerita dan warna yang menarik untuk anak kecil. Warnanya cerah, ceritanya asyik. Namun sayang, unsur edukasinya tidak terlalu ada.

Bagi saya, film Barbie adalah sumber inspirasi. Walaupun penuh dengan adegan tak masuk akal, film-film Barbie konsisten menyajikan cerita petualangan dengan tak lupa selalu menyertakan moral value. Nilai-nilai yang selalu ada disitu antara lain tentang rasa ingin tahu, sebuah keberanian, percaya diri, dan menolong sesama. Dan yang paling penting, tak ada adegan dewasa seperti cium-ciuman yang selalu ada di serial drama princess ala Disney.

Lihat saja si Barbie Rapunzel, ia tak mungkin bisa bebas dari kastil mengerikan itu jika tak penasaran dan takut terhadap lorong bawah tanah di dapur kastilnya. Odette pun tak akan dikutuk menjadi angsa andaikan ia tak mengikuti seekor Unicorn ke dalam hutan. Lalu karena apalah ia berakhir menyelamatkan seluruh hutan terhadap kutukan jahat Rothbar jika bukan kemauannya menolong sesama? Lihat juga bagaimana Krystin si ballerina yang tak pernah mau mengikuti koreografi dari pelatihnya namun berhasil memikat banyak orang dengan tari hasil ciptaannya sendiri.

Berbeda dengan boneka-boneka lain, Barbie adalah sebuah karakter yang kuat dan konsisten. Meski bonekanya kini sudah tampil tak senonoh, setidaknya Barbie memiliki nilai lebih untuk tidak hanya menjadi sekadar boneka melalui film-filmnya. Ia berhasil mempromosikan diri sebagai putri sejati.

Barangkali hal-hal itu bukanlah sebuah edukasi yang kasat dan konkrit bagi sebagian orang. Namun rasanya tidaklah berlebihan jika saya menanamkan nilai-nilai itu ke dalam diri saya sendiri alih-alih megoperasi tubuh saya agar serupa Barbie.

0 comments:

Post a Comment