Dua
orang anak kecil itu berlarian di depan Masjid Agung Johar, Semarang. Satu per
satu orang yang berlalu lalang di sekitar masjid mereka buntuti. Dari jauh
terdengar rengekan mereka kepada seorang wanita setengah baya yang hendak masuk
ke masjid.
”Buk,
minta uangnya buk.. Buat bayar uang sekolah buk..” begitu suaranya.
Anak
perempuan yang lebih besar memiliki rambut lurus yang panjang, badan kurus, dan
kulit sawo matang. Alifa namanya. Gadis ini lahir di kota Atlas 10 tahun yang
lalu. Rumahnya berada di daerah pasar Johar, tepatnya di belakang pos polisi
depan Masjid Agung Johar. Ia tinggal bersama bapaknya yang bekerja sebagai kuli
angkut barang dan ibunya yang tidak bekerja.
Layaknya
seorang pelajar, Alifa yang duduk di kelas 3 SD Al Iman tersebut menghabiskan
waktu di sekolah mulai dari pukul 07.00 pagi hingga 12.00 siang. Pulang dari
sekolah, ia lantas tidak langsung menunaikan kewajiban belajarnya, melainkan
pergi “bekerja” bersama dengan teman-temannya.
Pengemis.
Itulah profesi Alifa alih-alih statusnya sebagai pelajar. Pendapatan bapaknya
memang pas-pasan. Namun masih bisa membiayai kebutuhan hidup keluarganya dan
sekolah Alifa. Lantas, kenapa Alifa mengemis?
“Saya
liat ada pengemis tipi-tipi mbak, ya.. saya kepingin dapet uang gitu,” jawabnya
polos.
Berbeda
dengan Alifa, Lia teman sesama pengemis Alifa tidak bersekolah. Padahal, umur
Lia masih 5 tahun. Tapi gadis kecil ini belum merasakan duduk di bangku
sekolah. Setiap hari, anak yang tidak bisa baca tulis ini hanya keluyuran di
jalan dan mengemis.
Lia
tinggal bersama nenek dan pamannya. Ibunya minggat bersama kakek tirinya ke
Jakarta. Sedangkan ayahnya yang kerja serabutan tak sanggup untuk mengurus buah
hatinya sehingga Lia diserahkan kepada neneknya. Nenek Lia yang tidak bekerja
mengandalkan uang hasil ngemis Lia untuk hidup sehari-hari. Pamannya yang masih
berumur 10 tahun itupun juga menjadi pengemis seperti keponakannya.
Ari
namanya. Dahulu, paman Lia ini pernah mencicipi bangku sekolah walaupun hanya
sampai kelas 2 SD. Semenjak ayahnya meninggal dan ibunya yang juga nenek Lia
menikah lagi, urusan pendidikan Ari terabaikan. Akhirnya, Ari benar-benar
berhenti sekolah ketika ibunya menjanda untuk yang kedua kalinya.
“Males mbak, lapo sekolah? Ra
penting ! (malas mbak, ngapain sekolah? nggak penting !)”, celetuknya ketika
ditanya alasannya berhenti sekolah.
Semarang, 8 Desember 2012
(hasil tulisan saat pjtl di Semarang)