SAYA bertemu
lagi dengan Ruyati Darwin. Perempuan berusia 70 tahun yang anaknya jadi korban
kerusuhan 1998. Semangatnya masih sama seperti saat terakhir kali saya
melihatnya tahun lalu di Kejaksaan Agung dan Monas. Sejak anaknya mati
terpanggang di Yogya Plaza, Jakarta Timur, ia tak pernah berhenti berteriak
meminta keadilan.
Sudah tak
terhitung berapa kali Ruyati mengulang cerita tentang anaknya kepada ratusan,
bahkan ribuan orang. Kepada presiden, kepada aktivis, kepada wartawan, kepada
mahasiswa, kepada orang biasa. Ia konsisten melakukannya selama 18 tahun. Kata
dia, “Rasanya masih sama.”
Tak ada yang
berubah dengan ingatan Ruyati. Perasaan kehilangan anaknya yang menurut dia tak
wajar itu pun masih mengendap. Tak pernah tuntas memberi dia alasan untuk
merelakan. Eten Karyana, anak pertamanya, pulang jadi abu pada suatu sore di
bulan Mei 1998. Semua hancur, tapi dompet dan KTP-nya masih utuh.
Kini Yogya
Plaza berubah nama jadi Citra Mall Klender. Bangunannya diperbarui. Jejak-jejak
kerusuhan dilenyapkan. Tak ada monumen, tugu, atau sejenisnya yang bisa dilihat
generasi muda untuk menengok kembali apa yang terjadi di masa itu. Ruyati lah
yang harus bercerita, bahwa anaknya mati terbakar bersama ribuan orang lainnya.
Dengan
penghilangan jejak itu, adakah Ruyati sembuh? Tidak, saudara. Menghindar tidak
bisa menyembuhkan luka. Mengenang yang bisa.
Sungguh
absurd. Ada orang tua yang ingin mengenang, tapi apa yang mau dilihat? Tak ada
sesuatu yang bisa digunakan Ruyati untuk kembali menengok masa lalunya. Tak ada
memori yang bisa membuatnya berdamai dengan kenangannya. Masa lalunya tak meninggalkan jejak. Seolah-olah sengaja dilenyapkan. Ruyati masih terluka,
begitu juga dengan kota itu.
Jakarta adalah kota yang terluka. Sebab kota tak melulu soal demografis. Ia juga tentang budaya dan manusia yang membangun sejarah kota. Melukai manusia artinya melukai kota itu sendiri. Dan kini kota itu tidak memberikan hak kepada pencipta sejarahnya untuk menyembuhkan luka.
Barangkali hak asasi kita memang dibatasi oleh hak orang lain. Tapi di sini, hak asasi dibatasi oleh kekuasaan. Mana ada pemerintah mau membangun monumen untuk korban pelanggaran HAM berat? G-30-S PKI, kerusuhan 1998, tragedi Trisakti. Yang ada hanyalah monumen dan situs sejarah yang menunjukkan betapa hebatnya penguasa orde baru menebas pengkhianat negeri. Membuat mereka jumawa dikenang rakyatnya sebagai yang benar.
Sementara si korban tak diberikan haknya untuk menyembuhkan diri. Mereka malah dihapuskan. Sengaja dilupakan. Lalu dianggap hantu yang harus diusir begitu menampakkan diri.
Kini kekerasan, penggusuran, dan pemindahan paksa semakin menambah borok ibu kota. Nyatanya hal itu tak pernah dianggap melanggar hak asasi manusia. Kata penguasa, "Demi Jakarta yang lebih baik."
Tentu saja, pembangunan ekonomi menjadi dalih pemugaran tempat-tempat kumuh. Bagi mereka, segelintir rumah di sepanjang bantaran kali tak ada artinya. Pun manusia-manusia yang hidup di sepanjang itu. Tanpa peduli jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar. Lalu mereka lupa, bahwa awal mula kerusuhan yang terjadi pada masa lalu adalah akibat adanya kesenjangan sosial. Si kaya naik tahta, si miskin gali kubur.
Saudara, kota tidak melulu soal demografis. Ada budaya dan manusia yang hidup dan membuat sejarah. Ada manusia yang harus dimanusiakan selain keindahan tata letak kota yang bisa diatur seenaknya oleh pemegang kuasa. Ada kultur sosial yang harus dijaga selain membangun ekonomi.
Seorang aktivis bertanya, "Akan jadi apa Jakarta 400 tahun lagi?" Selama ia tak mau memanusiakan manusianya, selamanya ia akan jadi kota yang terluka.
0 comments:
Post a Comment